1. Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.

2. Budaya politik parokial (parochial political culture)
Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan.
Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya areal wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada profesi.
Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun dari sistem poltik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya parokial masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata nilai serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan sebagai pimpinan politik sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata menonjol dalam budaya politik parokial ialah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan politik dalam masyarakat.
b. Budaya politik kaula/subjek (subject political culture)
Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.
Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah.
Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling , baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem. Namun demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan demikian scara umum mereka menerima segala keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijaksanaan pimpinannya.
Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian pula orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada kognitif. Oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi kedalam bentuk perilaku konkret karena diyakini tidak ada sarana untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap seperti itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti proses kolonisasi dan kidiktatoran.
c. Budaya politik partisipan (participant political culture)
Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.
Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya politik itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.
d. Budaya politik campuran (mixed political cultures)
Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan partisipasi hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otoritarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam perubahan sistem politik antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras, dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format politik karena gagal mencapai harmoni.
Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.

3. a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
b. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.

4. 1. Orientasi Kognitif
Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.
2. Orientasi Afektif
Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
3. Orientasi Evaluatif
Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu.
Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekeliling individu.
Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia, kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian hari.
Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah ‘diserang’ oleh lawan politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari orientasi kognitif dan afektif.
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
1. Parokial
a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.
2.
Subyek/Kaula
a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
3. Partisipan
a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik)
c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.
5. Dalam upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota).[21] Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang luas.
Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan, santri, dan priyayi- merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama –petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau administratur- yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini dihasilkan.

6. Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.

Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.

Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi
-----
1. Dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa.
2. Dapat memelihara kebudayaan politik suatu bangsa dalam bentuk penyampaian kebudayaan itu dari
generasi tua kepada generasi muda
3. Dapat mengubah kebudayaan politik

7. Dalam komunikasi politik partispasi yang dilakukan dalam sebuah sistem politik adalah perilaku anggota khalayak yang aktif yang tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan oleh para pemimpin politik, tapi juga menanggapi dan bertukar pesan dengan para pemimpin itu. James Rosenau meminta kita memperhatikan dua perangkat warga negara yang merupakan khalayak dalam komunikasi politik. Pertama, terdiri atas orang-orang yang sangat memperhatikan politik. Kedua, bahwa ada pertisipasi dari orang-orang yang tidak hanya memperhatikan dan menilai, namun diharapkan umpan balik yang dihasilkan akan mengakibatkan adanya tindakan pertukaran pesan dengan pemimpin pemerintahan. Individu mengambil bagian dalam politik dengan berbagai cara. Cara-cara itu berbeda dalam tiga hal atau dimensi: gaya umum partisipasi, motif, yang mendasari kegiatan mereka, dan konsekuensi berpartisipasi pada peran seseorang dalam politik.

A. Gaya partisipasi mengacu pada apa yang dilakukan maupun bagaimana ia melakukannya. Dibagi menjadi tujuh gaya berpartisipasi, yaitu: 1. Langsung/wakilan, melibatkan diri sendiri dengan hubungan yang dilakukan terus menerus dengan figur politik misalnya dengan cara menelpon, mengirim surat, dan mengunjungi kantor pemerintahan. Ataupun dengan ambil bagian dengan cara turut merasakan dengan hanya mengetahui informasi atau pesan politik (cara wakilan). 2. Kentara/tak kentara, sesorang dengan gaya seperti ini mengutarakan opini publiknya mempunyai tujuan meningkatkan perolehan keuntungan material. Gaya ini melibatkan keuntungan yang kentara dan instrumental. Ada partisipasi yang kurang instrumental dan kurang kentara serta lebih evaluatif. 3. Individual/kolektif, tekanan dalam sosialisasi masa kanak-kanak adalah pada gaya individual bukan pada memasuki kelompok terorganisasi atau pada demostrasi memberikan tekanan kolektif kepada pembuatan kebijakan. 4. Sistematis/acak, beberapa individu bertindak bukan karena dorongan hati, melainkan melalui berdasarkan perhitungan; pikiran perasaan dan usul mereka melakukan sesuatu yang konsisten, tidak berkontradiksi, berkesinambungan dan teguh, dan intensitasnya tidak berubah-ubah. 5. Terbuka/Tersembunyi, orang yang mengungkapkan opini secara terang-terangan dan tanpa ragu-ragu, menggunakan berbagai alat yang dapat diamati untuk melakukannya. 6. Berkomitmen/tak berkomitmen, warga negara berbeda-beda dalam intensitas partisipasi politiknya. Orang sangat mendukung tujuan, kandidat, kebijakan atau program bertindak dengan bersemangat dan antusias. 7. Derita/kesenangan, seseorang menaruh perhatian kepada politik dan melibatkan deritanya karena kegiatan politik itu sendiri merupakan kegiatan yang menyenangkan. Yang lain ingin mencapai sesuatu yang lebih jauh dari politik melalui partisipasi.

B. Motif partisipasi menyangkut faktor yang meningkatkan atau menekan pertisipasi politik. Dibagi menjadi lima motif, yaitu: 1. Sengaja/tak sengaja, beberapa warga negara mencari informasi dan peristiwa politik untuk mencapai tujuan tertentu. Mereka bisa menjadi berhasrat berpengetahuan, mempengaruhi suara legislator, atau mengarahkan kebijakan pejabat pemerintahan. Yang menyebabkan mereka berpartisipasi adalah keadaan, bukan dengan sengaja. 2. Rasional/emosional, orang yang mempunyai tujuan tertentu, teliti mempertimbangkan alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, dan kemudian memilih yang paling menguntungkan dipandang dari segi pengorbanan dan hasilnya, disebut bermotivasi rasional. Sementara beberapa orang bertindak tanpa berpikir, semata-mata karena dorongan hati, kecemasan, kekhawatiran, frustasi, kecanderungan, praduga, harapan, cita-cita, dan perasaan lain yang ditentukan memotivasi partisipasi emosional. 3. kebutuhan psikologi/sosial, menggunakan politik untuk memproyeksikan kebutuhan psikologis dan meningkatkan persahabatan sosial, mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yang statusnya diinginkan, atau meningkatkan posisi kelompok sosialnya dengan kelompok sosial lain. 4. Diarahkan dari dalam/luar, partisipasi politik yang diarahkan dari dalam diri pribadi dan dari luar erat kaitannya dengan motivasi batiniah dan motivasi sosial untuk partisipasi politik. Orang yang diarahkan oleh dirinya sendiri adalah orang yang beraksi sendiri, yaitu orientasi dan kecenderungannya diperoleh dari bimbingan orang tuanya. Sebaliknya, orang yang diarahkan dari luar lebih kosmopolitan, menanggapi berdasarkan orientasi yang diperoleh dari lingkungan yang jauh lebih luas ketimbang dari orang tua. 5. Berpikir/tidak berpikir, setiap orang bebeda dalam menyusun tingkat kesadaran ketika menyusun tindakan politik. Perilaku yang dipikirkan meliputi interprestasi aktif dari tindakan seseorang dan perkiraan konsekuensi itu terhadap dirinya dan orang lain.

C. Konsekuensi Partisipasi menyangkut interpretatif seseorang sehingga menimbulkan konsekuensi partipasi bagi peran seseorang dalam politik. Dibagi kedalam tiga konsekuensi, yaitu: 1. Fungsional/disfungsional, tidak setiap bentuk pertisipasi memajukan tujuan seseorang. 2. Sinambung/terputus, partisipasi politik seseorang membantu meneruskan situasi, program, pemerintah atau keadaan yang berlaku, maka konsekuensinya sinambung dan apabila sebaliknya maka konsekuensinya terputus. 3. Mendukung/menuntut, melalui beberpa tindakan, orang menunjukan dukungan terhadap rezim politik yang ada. Misalnya dengan memberikan suara pada Pemilu, membayar pajak, mematuhi hukum, dan lain-lain. Namun ada juga yang mengajukan tuntutan kepada pejabat pemerintahan. Sumber : Bahan Kuliah Sistem Politik Indonesia Awang Darumurti, S.IP, M. Si

















9. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.

a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas

10. Partisipasi politik.
Dalam komunikasi politik partispasi yang dilakukan dalam sebuah sistem politik adalah perilaku anggota khalayak yang aktif yang tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan oleh para pemimpin politik, tapi juga menanggapi dan bertukar pesan dengan para pemimpin itu. James Rosenau meminta kita memperhatikan dua perangkat warga negara yang merupakan khalayak dalam komunikasi politik. Pertama, terdiri atas orang-orang yang sangat memperhatikan politik. Kedua, bahwa ada pertisipasi dari orang-orang yang tidak hanya memperhatikan dan menilai, namun diharapkan umpan balik yang dihasilkan akan mengakibatkan adanya tindakan pertukaran pesan dengan pemimpin pemerintahan. Individu mengambil bagian dalam politik dengan berbagai cara. Cara-cara itu berbeda dalam tiga hal atau dimensi: gaya umum partisipasi, motif, yang mendasari kegiatan mereka, dan konsekuensi berpartisipasi pada peran seseorang dalam politik.
A. Gaya partisipasi mengacu pada apa yang dilakukan maupun bagaimana ia melakukannya. Dibagi menjadi tujuh gaya berpartisipasi, yaitu: 1. Langsung/wakilan, melibatkan diri sendiri dengan hubungan yang dilakukan terus menerus dengan figur politik misalnya dengan cara menelpon, mengirim surat, dan mengunjungi kantor pemerintahan. Ataupun dengan ambil bagian dengan cara turut merasakan dengan hanya mengetahui informasi atau pesan politik (cara wakilan). 2. Kentara/tak kentara, sesorang dengan gaya seperti ini mengutarakan opini publiknya mempunyai tujuan meningkatkan perolehan keuntungan material. Gaya ini melibatkan keuntungan yang kentara dan instrumental. Ada partisipasi yang kurang instrumental dan kurang kentara serta lebih evaluatif. 3. Individual/kolektif, tekanan dalam sosialisasi masa kanak-kanak adalah pada gaya individual bukan pada memasuki kelompok terorganisasi atau pada demostrasi memberikan tekanan kolektif kepada pembuatan kebijakan. 4. Sistematis/acak, beberapa individu bertindak bukan karena dorongan hati, melainkan melalui berdasarkan perhitungan; pikiran perasaan dan usul mereka melakukan sesuatu yang konsisten, tidak berkontradiksi, berkesinambungan dan teguh, dan intensitasnya tidak berubah-ubah. 5. Terbuka/Tersembunyi, orang yang mengungkapkan opini secara terang-terangan dan tanpa ragu-ragu, menggunakan berbagai alat yang dapat diamati untuk melakukannya. 6. Berkomitmen/tak berkomitmen, warga negara berbeda-beda dalam intensitas partisipasi politiknya. Orang sangat mendukung tujuan, kandidat, kebijakan atau program bertindak dengan bersemangat dan antusias. 7. Derita/kesenangan, seseorang menaruh perhatian kepada politik dan melibatkan deritanya karena kegiatan politik itu sendiri merupakan kegiatan yang menyenangkan. Yang lain ingin mencapai sesuatu yang lebih jauh dari politik melalui partisipasi.
B. Motif partisipasi menyangkut faktor yang meningkatkan atau menekan pertisipasi politik. Dibagi menjadi lima motif, yaitu: 1. Sengaja/tak sengaja, beberapa warga negara mencari informasi dan peristiwa politik untuk mencapai tujuan tertentu. Mereka bisa menjadi berhasrat berpengetahuan, mempengaruhi suara legislator, atau mengarahkan kebijakan pejabat pemerintahan. Yang menyebabkan mereka berpartisipasi adalah keadaan, bukan dengan sengaja. 2. Rasional/emosional, orang yang mempunyai tujuan tertentu, teliti mempertimbangkan alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, dan kemudian memilih yang paling menguntungkan dipandang dari segi pengorbanan dan hasilnya, disebut bermotivasi rasional. Sementara beberapa orang bertindak tanpa berpikir, semata-mata karena dorongan hati, kecemasan, kekhawatiran, frustasi, kecanderungan, praduga, harapan, cita-cita, dan perasaan lain yang ditentukan memotivasi partisipasi emosional. 3. kebutuhan psikologi/sosial, menggunakan politik untuk memproyeksikan kebutuhan psikologis dan meningkatkan persahabatan sosial, mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yang statusnya diinginkan, atau meningkatkan posisi kelompok sosialnya dengan kelompok sosial lain. 4. Diarahkan dari dalam/luar, partisipasi politik yang diarahkan dari dalam diri pribadi dan dari luar erat kaitannya dengan motivasi batiniah dan motivasi sosial untuk partisipasi politik. Orang yang diarahkan oleh dirinya sendiri adalah orang yang beraksi sendiri, yaitu orientasi dan kecenderungannya diperoleh dari bimbingan orang tuanya. Sebaliknya, orang yang diarahkan dari luar lebih kosmopolitan, menanggapi berdasarkan orientasi yang diperoleh dari lingkungan yang jauh lebih luas ketimbang dari orang tua. 5. Berpikir/tidak berpikir, setiap orang bebeda dalam menyusun tingkat kesadaran ketika menyusun tindakan politik. Perilaku yang dipikirkan meliputi interprestasi aktif dari tindakan seseorang dan perkiraan konsekuensi itu terhadap dirinya dan orang lain.
C. Konsekuensi Partisipasi menyangkut interpretatif seseorang sehingga menimbulkan konsekuensi partipasi bagi peran seseorang dalam politik. Dibagi kedalam tiga konsekuensi, yaitu: 1. Fungsional/disfungsional, tidak setiap bentuk pertisipasi memajukan tujuan seseorang. 2. Sinambung/terputus, partisipasi politik seseorang membantu meneruskan situasi, program, pemerintah atau keadaan yang berlaku, maka konsekuensinya sinambung dan apabila sebaliknya maka konsekuensinya terputus. 3. Mendukung/menuntut, melalui beberpa tindakan, orang menunjukan dukungan terhadap rezim politik yang ada. Misalnya dengan memberikan suara pada Pemilu, membayar pajak, mematuhi hukum, dan lain-lain. Namun ada juga yang mengajukan tuntutan kepada pejabat pemerintahan. Sumber : Bahan Kuliah Sistem Politik Indonesia Awang Darumurti, S.IP, M. Si

0 komentar:

Posting Komentar

Follow us on Twitter! Follow us on Twitter!
Replace this text with your message