Omo Hada tidak rubuh saat gempa besar menghempaskan Nias dua tahun lalu.
Rumah tradisional terbuat dari kayu tanpa paku ini hanya bergeser sedikit,
padahal usianya sudah mencapai ratusan tahun. Anehnya, rumah-rumah batu
bersemen dengan rancangan masa kini malah banyak yang hancur.
RUMAH-rumah kayu beratap oval masih berdiri kokoh di desa tradisional Tumori,
Gunungsitoli. Beberapa rumah sudah menggunakan pernis serta bercat masa kini
meskipun bentuk aslinya tidak berubah, kecuali pintu masuk yang dialihkan dari
samping melalui tangga kayu. “Aslinya, pintu masuk omo nhada dari bawah
kolong, tapi sekarang hampir semua dari samping supaya tamu mudah untuk masuk
ke dalam,” kata Ya’aro Zebua, 72 tahun.
Ya’aro Zebua adalah arsitek atau tukang yang memiliki keahlian membangun rumah
adat Nias (omo hada) di Desa Tumori. Dia mendapatkan keahlian itu
secara turun-temurun. “Desa ini sudah berusia lebih 200 tahun,” katanya, “semua
rumah di sini dibangun oleh kakek dan orangtua saya.”
Omo hada asli tidak menggunakan paku, melainkan pena dan pasak kayu,
sebagaimana rumah knock down atau bongkar pasang. Bahan kayu yang
digunakan merupakan pilihan, diperoleh dari hutan-hutan di Nias. “Sekarang
susah mencari kayu-kayu pilihan untuk membangun rumah adat, sudah habis dari
hutan,” ungkap Zebua. Syukurlah, rumbia untuk atap rumah masih dapat dibuat
dari nyiur sehingga bumbungannya tetap tampak unik. Bumbungan kelihatan jadi
semakin unik dengan adanya satu hingga dua tuwu zago, yaitu jendela di
bagian atap sebagai ventilasi dan sumber cahaya bagi rumah. Tuwu zago ini
terdapat di atap bagian depan dan belakang bumbungan.
Tiang Kayu dan Simbol Omo Hada
Setiap omo hada memiliki enam tiang utama yang menyangga
seluruh bangunan. Empat tiang tampak di ruang tengah rumah, sedang dua tiang
lagi tertutup oleh papan dinding kamar utama. Dua tiang di tengah rumah itu
disebut simalambuo berupa kayu bulat yang menjulang dari dasar hingga ke puncak
rumah. Dua tiang lagi adalah manaba berasal dari pohon berkayu keras dipahat
empatsegi, demikian pula dua tiang yang berada di dalam kamar utama. Setiap
tiang mempunyai lebar dan panjang tertentu satu dengan lainnya. “Semakin lebar
jarak antara tiang simalambuo dengan tiang manaba maka semakin berpengaruhlah
si pemilik rumah,” ungkap Ya’aro Zebua lagi.
Rumah-rumah adat di Nias juga tidak memiliki jendela. Sekelilingnya hanya
diberi teralis kayu tanpa dinding sehingga setiap orang di luar rumah dapat
mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Menurut Zebua, desain ini menandakan
orang Nias bersikap terbuka, jadi siapapun di desa dapat mengetahui acara-acara
di dalam rumah, terutama yang berkaitan dengan adat dan masalah masyarakat
setempat. Biasanya pemilik rumah bersama ketua adat duduk di bangku memanjang
di atas lantai yang lebih tinggi—disebut sanuhe—sambil bersandar ke
kayu-kayu teralis, sedangkan yang lainnya duduk di lantai lebih rendah atau
disebut sanari. Setiap acara adat akan berlangsung di dalam rumah, terlebih
dulu seisi kampung diundang dengan membunyikan faritia (gong) yang
tergantung di tengah rumah. Faritia di rumah adat Nias Selatan dilengkapi oleh fondrahi,
yaitu tambur besar sebagaimana terlihat di omo sebua—rumah besar untuk
raja dan bangsawan—di Desa Bawomatoluo, Teluk Dalam.
Segi artistik juga menjadi perhatian dalam pembangunan omo hada.
Banyak kayu-kayu berukir menghias interior dan eksterior rumah. Ini menandakan
orang Nias mempunyai rasa seni tinggi.
Kayu Elastis Menahan Gempa
Mengapa omo hada tak rubuh saat gempa? Ya’aro Zebua mengatakan
kayu-kayu yang digunakan untuk rumah mereka bersifat elastis. " Jadi saat
gempa rumah pun 'main' [ikut bergerak] sesuai guncangan bumi.” Tetapi,
diakuinya, gerakan-gerakan itu telah membuat posisi tiang-tiang rumah bergeser
sehingga tampak miring. Selain itu, dia mengungkapkan, umumnya atap di puncak
bumbungan mengalami kerusakan walaupun tak begitu berarti.
Rumah-rumah di Nias bagian utara, seperti Desa Tumori, umumnya disangga oleh
balok-balok kayu berbentuk letter X yang disebut diwa. Diwa menahan
lantai rumah di bagian kolong, selain ada pula siloto yang berupa kayu
panjang yang menempel di bagian bawah papan lantai rumah tersebut. Siloto
langsung menahan lantai rumah, dan merupakan bagian kayu yang paling elastis. Ada juga gohomo,
yaitu kayu-kayu yang tegak lurus menopang dan memagari seluruh kolong rumah
sehingga omo hada semakin kokoh sekaligus elastis. Gohomo berada
di bagian terluar pada kolong rumah, sedangkan siloto dan diwa berada
di bagian dalamnya.
Rumah Empatsegi dan Lettter V di Bawomatoluo
Kalau balok penyangga omo hada di kawasan Nias utara berbentuk letter X,
maka di Nias Selatan berbentuk letter V. Bentuk itu tampak di rumah-rumah desa
tradisional, seperti Bawomatoluo, Hilinawalu Mazingo, Hilinawalu Fao dan
sebagainya. Rumah adat di sini pun tidak oval, melainkan berbentuk empatsegi
mulai dari atap hingga keseluruhan bagian bangunan.
Bawomatoluo adalah desa tradisional berusia ratusan tahun. Desa ini paling
lengkap menyimpan ornamen tradisional Nias Selatan, berada sekitar 8 kilometer
dari Teluk Dalam. Setiap orang yang ingin memasuki desa mesti menaiki 91 anak
tangga terbuat dari batu hasil pahatan para ahli Bawomatoluo.
Selain di Bawomatoluo, setiap desa tradisional di Nias Selatan juga memiliki omo
sebua. Namun, kini atap omo hada di desa-desa itu, termasuk
Bawomatoluo, rata-rata sudah tidak asli lagi dari rumbia. Semua diganti dengan
seng. Demikian pula atap omo sebua sudah menggunakan seng. Perubahahan
ini, menurut Pikiran Nehe dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, terjadi setelah
dilakukan pemugaran. Soalnya, katanya, rumbia untuk atap omo hada
mulai jarang diproduksi di Nias, padahal kebutuhannya sangat besar. Misalnya, omo
sebua saja membutuhkan sekitar dua ribu lembar atap rumbia, belum lagi rumah-rumah
lainnya. Namun, tambahnya, perubahan atap dengan seng tidak mengubah desain
asli omo sebua. “Selain Bawomatoluo, ada dua desa lagi memiliki omo
sebua yang tetap akan dipertahankan, yaitu di Desa Hilinawalu Mazingo dan
Hilinawalu Fao,” ungkap Nehe. Ini untuk menjaga dan melestarikan kekayaan
budaya Nias Selatan.
Ciri asli juga masih tampak dari pintu masuk omo sebua di Bawomatoluo.
Setiap orang mesti masuk melalui pintu dari bagian bawah kolong rumah. Interior
rumah pun masih terjaga, dimana dapur terdapat di ruangan tengah dan satu lagi
di bagian belakang. “Posisi dapur di ruangan tengah menandakan bahwa omo
sebua adalah milik semua rakyat desa ini,” kata Pikiran Nehe.
Ornamen Nias di Omo Sebua
Ornamen-ornamen yang melambangkan kekayaan budaya terpasang di dinding omo
sebua, seperti tambur besar fondrahi, rangkaian puluhan tengkorak babi,
peralatan perang khas Nias, dan aneka hiasan lainnya. Bangunan omo sebua yang
lebih besar, berlantai tinggi, dan berada di tengah desa, membuat raja atau
kepala suku dapat mengamati seluruh desa tanpa keluar dari rumah. Tetapi kalau
dia ingin mengumpulkan rakyatnya maka cukup dengan memukul fondrahi.
Hikayat Mana’o, seniman yang bermukim di Bawomatoluo, mengemukakan banyak orang
sudah mengunjungi omo sebua pada desa-desa tradisional di Nias dan Nias
Selatan. Namun, menurutnya, setelah mengunjungi Bawomatoluo mereka mendapatkan
ternyata omo sebua di sini paling unik menggambarkan kekayaan budaya
Nias. “Ornamen omo sebua dan seluruh desa Bawomatoluo dianggap paling lengkap
serta menarik,” katanya. Salah satu ornamen itu terlihat pada seni pahat batu
yang juga unik di desa ini, mulai dari tangga masuk, lompat batu hingga aneka
perkakas bebatuan di halaman omo sebua.
Dulu, menurut Mana’o, untuk membangun omo sebua saja ada tujuh tahap
yang mesti dilampaui oleh leluhur mereka, mulai dari pembangunan fondasi hingga
ke atap. “Setiap tahap biasanya diselesaikan dengan mengadakan upacara yang
mengorbankan puluhan ekor babi,” ungkapnya. Maka sampai tahap terakhir ada
ratusan ekor hewan itu dikorbankan untuk membangun satu omo sebua. “Semua
tengkorak kepala babi itu dipajangkan di bagian dalam rumah untuk menunjukkan
kebesaran omo sebua,” jelas Mana’o.
Saat ini balok-balok berletter V berukuran besar yang menyangga omo sebua mulai
terlihat lapuk. Namun rumah yang kini dihuni oleh generasi kelima raja
Bawomatoluo masih kokoh berdiri, padahal bangunan utamanya sejak dari fondasi,
lantai dan rangka rumah hingga dinding-dinding sama sekali tak menggunakan
paku. “Omo hada—termasuk omo sebua—memang merupakan bangunan knock
down, tanpa paku,” kata Solistis Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Nias Selatan. Ini membuatnya menjadi unik dan tahan dari guncangan gempa.
Saking uniknya, dia mengatakan, ratusan tahun lalu penjajah Belanda pernah
membawa satu omo sebua ke negerinya beserta satu keluarga orang Nias yang ahli
untuk merancang bangunnya kembali di sana .
“Sampai kini omo sebua itu masih ada di Kopenhagen , Denmark ,”
ungkapnya.